Reklamasi Sudah Ada Dalam Kisah Ramayana



SAAT ini, sebuah patung yang berdiri megah di pertigaan Jalan By Pass Ngurah Rai, Kesiman, Denpasar. Patung yang kemudian dikenal dengan nama Patung Titi Banda itu dibangun atas prakarsa Pemerintah Kota Denpasar, dan diresmikan pada Desember 2014. Patung yang dibangun di bawah koordinasi seniman Eka Jayana itu bukan hanya indah, tetapi juga mengandung makna fi losofi yang dalam.

Menurut perancangnya, seperti yang disampaikannya kepada media, pembangunan patung itu terinspirasi dari kisah Ramayana. Patung itu menceritakan perjalanan Sri Rama yang akan menjemput Dewi Shinta dari tangan Rahwana di Negeri Alengka. Digambarkan dalam patung itu, Rama didampingi pasukan wanara berjumlah 18 prajurit yang diantaranya adalah panglima pasukan itu.

Kisah Titi Banda

Dalam epos Ramayana dikisahkan, Resi Wismamitra meminta bantuan Sri Rama melindungi pertapaan di tengah hutan dari gangguan para raksasa. Sri Rama kemudian ditemani Lakshmana, adiknya satu ayah tapi lain ibu. Selama di pertapaan, Sri Rama dan Lakshmana diberi ilmu kerohanian oleh Resi Wismamitra sambil terus menjaga pertapaan dari gangguan para raksasa. Sri Rama dan Lakshmana berhasil membunuh banyak raksasa dalam melaksanakan tugasnya tersebut.

Suatu ketika, saat melewati Mithila, Sri Rama mengikuti sebuah sayembara yang diadakan oleh Prabu Janaka. Rama memenangkan sayembara itu dan berhak meminang putri Prabu Janaka yang cantik jelita, yaitu Dewi Shinta. Rama kemudian memboyong istrinya itu ke Ayodhya. Di Ayodhya, Prabu Dasarata sesungguhnya berniat mewariskan kerajaan kepada Rama, tapi Dewi Kekayi istrinya tidak setuju, dan akhirnya tahta diserahkan kepada Bharata. Meski ibunya dengki kepada Rama, Bharata justru berharap Rama yang meneruskan tahta, tapi Rama menolak dan memilih meninggalkan kerajaan dan memilih hidup di hutan bersama istrinya Shinta dan Lakhsmana yang ikut serta.

Suatu ketika, di hutan, Sri Rama dan Lakshmana bertemu dengan raksasa wanita bernama Surpanaka yang ingin menikahi Rama dan Lakshmana. Keduanya tentu saja menolak, maka terjadilah pertempuran dan hidung Surpanaka terluka oleh pedang Lakshmana. Surpanaka kemudian mengadu kepada saudaranya Rahwana. Rahwana kemudian mendatangi Rama dan Lakshmana untuk membalas dendam. Tapi sampai di sana, Rahwana terpesona oleh kecantikan Dewi Shinta. Dengan tipu daya, akhirnya Rahwana berhasil menculik Shinta dan membawanya ke Alengka.

Rama dan Lakshmana kemudian berusaha mencari Dewi Shinta. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan raja kera Sugriwa dan panglimanya Hanoman. Rama dan Lakshmana membantu Sugriwa untuk merebut Kerajaan Kiskenda dari tangan saudaranya yang lalim, Subali. Sebagai balas jasa, Sugriwa memerintahkan Hanoman dan pasukannya untuk membantu Rama dan Lakshmana mencari Shinta.Akan tetapi perjalanan mereka terhalang oleh lautan luas untuk menuju Alengka.

Atas petunjuk Dewa Baruna, Rama disarankan membangun jembatan besar tanpa mengeringkan atau mengurangi kedalaman lautan agar bisa mencapai Alengka. Pasukan kera di bawah komando Anila kemudian menimbun lautan dengan batu karang dan pasir. Nama Anila berperan penting dalam wiracarita Ramayana terutama dalam pembangunan jembatan Situ Banda karena struktur dan bangunan jembatan dirancang olehnya.

Dalam waktu singkat jembatan yang kemudian dikenal dengan jembatan Titi Banda itu selesai. Dengan selesainya jembatan itu, Rama dan pasukan kera berhasil menyebrang ke Alengka, berperang dengan pasukan Rahwana dan bisa membawa pulang Dewi Shinta setelah Hanoman membakar Alengka.

Revitalisasi Teluk Benoa

Kembali ke soal patung Titi Banda, dari kisah di atas, patung tersebut bisa dimaknai sebagai usaha dan harapan menuju kemenangan atau keberhasilan mencapai tujuan’.

Makna fi losofi ini jugalah yang ada dalam Jembatan Alengka (dikenal juga dengan sebutan Jembatan Rama) yang menghubungkan India (Pulau Pamband) dengan negara tetangganya Srilanka (Pulau Manand).

Jembatan yang dianggap tertua di dunia itu terbentuk dari timbunan batu dan pasir yang diyakini sebagai rancangan Anila. Dalam perspektif kisah ini, sesungguhnya konsep reklamasi sudah ada sejak zaman kisah Ramayana. Sebagian orang kemudian menghubungkannya dengan kisah di atas, mereka menganggap bahwa Pulau Manand itu adalah Kerajaan Alengka yang dipimpin Rahwana itu. Akan tetapi meski secara arkeologis hal itu sulit atau masih belum bisa dibuktikan.

Filosofi Titi Banda juga sejalan dengan rencana revitalisasi Teluk Benoa. Seperti yang sudah banyak dijelaskan dan dipublikasikan dalam media, salah satu rangkaian dari proyek revitalisasi ini adalah dengan pembuatan pulau-pulau yang nantinya akan digunakan untuk berbagai keperluan wisata dan juga keagamaan. Pulau-pulau itu nantinya akan terhubung dengan jembatan dan juga jalan tol yang sudah ada. Jalan dan jembatan yang menghubungkan antar pulau tersebut dibangun arsitek investor pengembang dapat dimaknai seperti karya Anila membangun jembatan Titi Banda.

Pembentukan pulau-pulau yang disertai dengan normalisasi arus laut di Teluk Benoa, sejalan dengan pembangunan jembatan Titi Banda, yakni dengan tidak mengganggu bahkan ikut melestarikan lingkungan.

Tujuan dari revitalisasi Teluk Benoa juga sejalan dengan fi losofi Titi Banda, yakni usaha dan harapan untuk meraih kemenangan dan tercapainya tujuan. Kemenangan di sini bisa dimaknai sebagai kemenangan atas persoalan lingkungan yang selama ini membelit kawasan Teluk Benoa, seperti persoalan sampah dan sedimentasi. Kemenangan ini bisa juga dimaknai kemenangan atas persoalan sosial di kawasan itu, seperti masalah kurangnya lapangan pekerjaan.

Sementara tercapainya tujuan bisa dimaknai sebagai tercapainya tujuan untuk meningkatkan pariwisata Bali yang nyaris stagnan dan kembali bersaing dengan tempat tujuan wisata dunia lainnya. Tujuan lainnya yang diharapkan bisa tercapai dengan adanya rencana revitalisasi Teluk Benoa ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan dan juga di Bali secara keseluruhan.

Keselarasan fi losofi Titi Banda dengan rencana revitalisasi Teluk Benoa ini menjadikannya seperti layaknya Sri Rama yang tak kenal lelah berjuang merebut kembali Dewi Shinta. Sri Rama yang berjuang untuk menegakkan keadilan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Hingga pada akhirnya tercapainya tujuan yang diinginkan bersama, yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat Bali.

Sementara kembalinya Dewi Shinta bisa diibaratkan sebagai kembalinya kecantikan Bali yang sudah sejak lama dipuja dan dicintai dunia. Dan, sepertinya bukan suatu kebetulan jika inisial Titi Banda sama dengan Teluk Benoa. Bukan suatu kebetulan juga jika rencana revitalisasi Teluk Benoa terjadi dalam tahun Monyet dari elemen api. Api merupakan simbol kekuatan untuk suatu perubahan besar. Ini seperti sebuah petunjuk nyata bagi kita.

Oleh I Gusti Ngurah Muditha